Gadged Multi Fungsi

Formulir Kontak

KONTAK KAMI

Silahkan isi formulir di bawah ini untuk menghubungi kami

Nama

Email

Pesan

Novelis Legendaris Fredy S Luar Biasa

Novelis Fredy Siswanto atau biasa dikenal melalui nama pena Fredy S meninggal dunia pada 24 Januari lalu. Tak banyak yang tahu kisah hidupnya, lantaran semasa hidup penulis khas cerita erotis ini sosok yang pendiam. Publik Indonesia hanya tahu Fredy S dari karya-karyanya.

Apalagi setelah menderita penyakit stroke yang dideritanya 12 tahun terakhir, nyaris tak ada lagi orang yang membicarakan novelis dengan ratusan karya tersebut. Teman-temannya dari kalangan artis film, produser, atau sutradara tak pernah lagi menjenguknya.

Namun, setelah dia tiada, kisah hidup sang novelis mulai dicari. Di kediaman pribadinya di daerah Bintara, Bekasi Barat, mengunjungi keluarga sang legenda. Di rumah berlantai dua berhalaman luas tersebut, tim merdeka.com ditemui istri Fredy S, Sri Suyati dan salah satu putranya, Feri.

Dalam obrolan santai tersebut, sedikit terkuak siapa Fredy S sebenarnya. Berikut hasil lengkap wawancara merdeka.com dengan keluarga Fredy S pada Minggu (22/2) lalu:

Pak Fredy dan ibu asli mana?

Semarang, dua-duanya. Ini (nunjuk anaknya, Feri) sudah kelas 2 SD. Jadi pindahnya setelah novel 'Senyummu Datang' itu terbit lalu difilmkan. Bapak tertarik tinggal di Jakarta. Bilang "Berangkat aja yuk!"

Pertama tinggal di Grogol, jauh.

Novel pertama langsung difilmkan?

Iya (Film 'Senyummu Datang') diperankan oleh Rano Karno dan Anggita Carolina. Novel pertama langsung difilmkan.

Dari film langsung di-skenariokan. Tapi sutradaranya bukan bapak ya. Deddy Yakub namanya. Inem Film kayaknya yang memproduksi. Dulu ada namanya Inem film, tapi sekarang sudah tutup.

Ceritanya bagaimana bisa sampai novelnya difilmkan?

Ya kan waktu di Semarang, bapak kerja buat poster bioskop. Pesanan dari Semarang, Solo, Yogya, Kantor di kawasan Gadjah Mada. (Sebelum ke Jakarta) anak buah banyak, tapi saya tinggal. Karena tertarik ke Jakarta itu langsung kabur dia. Padahal kasihan juga yang pada gambar itu.

Jadi dulu bapak kan sudah ada anak buah yang pinter-pinter, jadi tinggal finishing doang. Kalau sudah bagus gak di-finishing. Banyak anak buah karena pesanan baliho. Baliho gunakan tenaga banyak, triplek juga. Kan tripleknya gede-gede. Tapi karena novel itu langsung deh pindah ke Jakarta.

Latar belakang pendidikan Fredy S?

Banyak bapak. Wartawan pernah, di Majalah Times. PON X bapak juga pegang (liputan) itu. Bapak di Majalah Times tahun 80-an jadi kontributor. Tugas di Istana juga pernah kok. Pernah kita lihat di televisi bapak pakai batik.

Pindah ke Jakarta langsung sukses jadi novelis?

Pertama mondar-mandir saja dulu. Soalnya dulu anak kami ikut neneknya. Seniman kan dulu enggak punya penghasilan seperti seniman sekarang. Kalau sekarang (seniman) gajinya gede-gede kan.

Enggak ada (penghasilan) juta-jutaan, masih ringanlah. Terus dia pengen ikut pemutaran film harus kursus kan KFT (Kursus Profesi Sinematografi Departemen Penerangan-red) dulu. Soalnya kalau mau masuk ke film harus kursus dulu. Itu tahun 1983-an atau 1984-an.

Setelah punya kartu anggota KFT, dia bisa buat script di-film. Jadi asisten sutradara terus merangkak pelan-pelan sampai akhirnya jadi sutradara. Pas meninggal bisa disebut bekas sutradara layar lebar.

Bapak semua film bioskop. Kalau dulu sinetron kan belum ada. Layar lebar banyak kok dia, seperti 'Cinta di awal 30' yang main Natalita, terus ada lagi 'Tak akan lari Gunung Dikejar', banyak sih.

Sinetron juga banyak, di Feri Andriono. Di Soraya Intercine juga banyak. Terus sama Tomi Indra juga. Sama Rhoma Irama juga di Firman Abadi Film. Sudah ganti-ganti, kan kayak pemborong saja. Suka pindah-pindah tinggal siapa mau makai dia aja kan. Karena hobinya di situ.

Sebelum novel, itu dulunya bapak bikin komik. Komik yang roman. Terus dia pengen coba-coba bikin novel. Cobalah buat novel pakai mesin ketik. Akhirnya sekali jadi langsung difilmkan loh. Jadi semuanya langsung ditinggal, langsung ke novel terus.

Anak-anak dulu juga pada disuruh kursus di musik, kamu di piano aku diapa. Gak lama akhirnya berhenti juga.

Anak-anak gak ada yang mengikuti jejak bapak?

Yang gede dulu yang nomor satu cewek bikin kumpulan cerpen. Pernah terbit sekali tapi gak mau lagi. Ini tapi mereka juga gak boleh sama bapaknya. Mereka disuruh kuliah biar kantoran aja jangan kaya bapaknya, seniman. Susah jadi seniman. Tapi alhamdulillah lima-limanya sarjana, terkabul. Karena bapak pengennya lima-limanya jadi pegawai kantor. Harus. Tercapai sih, enggak menyangka.

Jadi sampai akhir hayat cita-cita Freddy S tercapai?

Iya. Pokoknya anak-anak harus jadi pegawai jangan kaya papa. Karena bapakmu ini bener-bener merangkak. Merangkaknya merangkak bener. Susah dulu. Anak saya juga jaraknya deket-deket. Anak pertama lahir tahun 73, 74, 76, 78 dan 80. Lima orang. Deket-deket banget dulu.

Proses pembuatan naskahnya sendiri bagaimana?

Udah langsung (mengetik). Proses buatnya di rumah, belakangan sama laptop. Dulu pakai disket, pernah pakai komputer.

Sempat pakai mesin ketik?

Sempat. Ketik di kertas pake mesin ketik. Kalau gak salah mesin ketiknya Brothers dulu ya. Lama banget ngetik itu.

Kalau komik-kan dulukan pakai kertas karton dulu ya. Dipotong-potongin. Pake kotak-kotakan. Pake spidol juga.


Waktu bapak menulis sebuah kisah novel itu pernah buntu atau lancar-lancar saja?

Enggak juga, kadang-kadang juga buntu. Kalau buntu kadang-kadang juga melukis. Tapi sampingannya banyak juga, ada lukis, film dan skenario. Ada banyak dia.

Jadi kalau buntu tinggal pindah yang dikerjain?

Iya. Bebas. Dulukan banyak yang sering datang ke rumah. Pak Leo Susanto itu kan prosedur itu. Dia juga sering telpon, "Fred cepetan?" emangnya pabrik kacang cepetan.

Ide tulisan dari mana?

Langsung sendiri kok. Sampai sering kurang tidur. Bapak bekerjanya malam sampai pagi. Kalau siang dia tidur. Malam dia melek.


Hobi melukis juga dilakukan malam hari?

Iya malam. Dia melukis di luar garasi situ. Berani dia sampai jam dua malam.

Dia juga pernah di radio kesehatan waktu di Semarang. Bapak mah orangnya banyak pengalaman. Bakat dari alam semua. Enggak pakai sekolah-sekolah.

Lulus terakhir SMA?

Iya. Enggak kuliah.

Dia itu angkatannya Roy Marten. Politikus Semarang juga banyak. Sama Roy Marten itu akrab banget. Jadi dulu waktu mau jemputan film pada nongkrong di sini (rumah). Kadang-kadang kalau bapak gak bawa mobil pada di sini.

Dia orangnya pendiem sih enggak banyak omong, tapi kenalannya banyak. Mayoritas orang-orang film.

Kalau kenalan pejabat?

Kayaknya juga ada ya tapi film lebih banyak.

Total karya beliau berapa sih bu?

Enggak tahu, tapi ratusan (buah) aja. Jadi dari tahun 78 mulai, Senyummu itu tahun 78.

Sampai sekarang karya beliau masih ada, dari penerbit ada royalti? Kan ada yang diterbitkan di Malaysia dan Brunei?

Sekarang sih enggak ada. Kan dulu ketemu orang Malaysia di hotel. Jadi enggak terikat, langsung putus.

Tahun berapa yang Brunei dan Malaysia?

Kayaknya saya sudah di sini deh. Sekitar tahun 86. Bahasanya juga diubah ke bahasa Malaysia juga kok. Emang kalau bapak tidak pernah berbicara mengenai profesional, kontrak apa enggak, dulu mungkin gak tahu. Kalau kontrak dulu paling kita dikasih mobil.

Sampai sekarang masih?

Enggak. Setelah dia di sinetron inikan semua siarankan kejar tayang terus kan. Berhenti bener dia nulis. Ada juga penerbit nulis pakai namanya dia. Sempet berdebat juga dia. Nama doang. Makanya dia ganti ke sinetron.

Jadi kalau misalnya lagi laku mereka pada berani sih kasih mobil ya. Pernah dapet mobil waktu di Gultom Agency. Anak-anak ku juga kuliah ditanggung sampe selesai dua orang. Jadi dulu masih laris-larisnya di Gultom itu.

Buku sekarang sepinya semenjak ada internet. Makanya pada ngak laku, pada bangkrut semua. Pada yang bagus-bagus itu ya banyak di pasar baru ada dua penerbit, orang Cina. Orang Cina dapat yang bagus-bagus semua, seperti Karisma Kartika, Samudera, banyak kok.

Orang keturunan Cina yang beli duluan, baru sekarang orang-orang Batak. Mungkin pas kebetulan yang Cina bagus-bagus (novelnya), sukses gitu. Mungkin dia gak langsung beli, mungkin dibaca dulu.

Back To Top